LOCUSNEWS, PARIMO – Bupati Parigi Moutong (Parimo), Erwin Burase, mengaku terkejut setelah mengetahui adanya perubahan signifikan dalam dokumen usulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Dari semula hanya 16 titik WPR, tiba-tiba jumlahnya membengkak menjadi 53 titik.
“Jadi hanya 16 titik WPR saja yang diusulkan. Satu desa ada yang usulkan tiga titik, seperti di Desa Lobu, Kecamatan Moutong,” ujar Erwin, Selasa (7/10/2025).
Menurut Erwin, usulan awal tersebut bahkan belum diajukan secara resmi, karena masih harus melewati proses evaluasi teknis dan verifikasi lapangan.
Langkah itu penting untuk memastikan lokasi WPR tidak tumpang tindih dengan kawasan permukiman, infrastruktur, maupun Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Namun, Erwin menduga telah terjadi perubahan pada lampiran dokumen usulan, terutama pada daftar titik dan blok WPR. Akibatnya, jumlah lokasi melonjak jauh dari rencana awal.
“Ada pihak yang mengubah lampiran itu. Tidak akan sebanyak itu. Suratnya akan kami tarik kembali. Hanya titik-titik yang memenuhi syarat yang akan disetujui,” tegasnya.
Sebagai langkah tegas, Erwin telah memerintahkan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Kabupaten Parimo untuk menarik seluruh dokumen usulan perubahan Wilayah Pertambangan (WP) dan WPR dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menanggapi itu, Anggota DPRD Kabupaten Parimo, Mohammad Fadli, menilai ketidaktahuan Bupati terhadap perubahan jumlah usulan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai kejadian luar biasa di lingkungan Pemerintah Daerah (Pemda).
“Mestinya tidak ada satu pihak pun yang melenceng dari kebijakan Bupati,” tegas Fadli di Parigi, Rabu (8/10/2025).
Menurutnya, polemik WPR tidak hanya bisa dilihat dari persoalan penambahan titik usulan, tetapi juga dari aspek kepatuhan pemerintah daerah terhadap mekanisme pengusulan yang seharusnya.
“Bukan hanya soal penambahan titik, karena 16 titik yang diusulkan pun masih menimbulkan masalah. Kenapa? Kami di DPRD tidak pernah dikonsultasikan atau dimintai persetujuan atas usulan 16 titik itu,” jelas Fadli.
Ia menambahkan, DPRD membutuhkan kajian dan analisis menyeluruh terhadap usulan tersebut, termasuk rincian luas wilayah yang mencapai 355.934,25 hektare serta dasar pengusulan yang dilakukan oleh pihak eksekutif.
“Kalau terkuak di berita ada tokoh masyarakat yang mengusulkan 16 titik, siapa tokoh yang dimaksud? Itu jadi pertanyaan,” ujarnya.
“Ada juga informasi ada kepala desa yang mengusulkan sebagai dasar. Kades mana? Apakah atas nama pribadi atau mewakili rakyat? Itu harus jelas. Dan kalau ada seseorang yang mengumpulkan data, siapa orang itu?” tambah Fadli.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menegaskan, pengusulan WPR tidak bisa dilakukan oleh individu, sebab mekanisme resmi harus melalui penelitian, kajian, dan analisis teknis.
“Penentuan luas wilayah dan cadangan mineral tidak bisa diwakili oleh satu orang. Apalagi pengusulan ini tidak melalui mekanisme konsultasi dan persetujuan DPRD. Ini jelas timpang,” tegasnya.
Agar polemik ini tidak terus berlarut, Fraksi Keadilan Rakyat (PKS–Hanura) DPRD Parimo mendesak Bupati mencabut seluruh usulan dan rekomendasi Wilayah Pertambangan (WP) dan WPR tertanggal 17 Juni 2025.
Fraksi tersebut menyampaikan tiga poin sikap resmi, yakni:
1. Meminta Bupati menarik kembali seluruh usulan dan rekomendasi WPR Parimo dari Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kementerian ESDM.
2. Mengajukan kembali usulan WPR setelah dilakukan revisi terhadap Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
3. Meminta Bupati menyampaikan permohonan maaf kepada DPRD karena telah mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas bagi masyarakat tanpa melalui konsultasi dan persetujuan legislatif.
“Tidak pilihan lain yang harus dilakukan Pemda selain menarik kembali usulan itu dari Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kementerian ESDM,” tutup Fadli.