LOCUSNEWS – Upaya mewujudkan Kabupaten Parigi Moutong yang lebih beradab tidak cukup hanya bertumpu pada pembangunan fisik dan ekonomi. Kita perlu menggali lebih dalam relasi manusia dengan lingkungan – yang sayangnya hingga hari ini masih terjebak dalam cara pandang antroposentris: manusia sebagai pusat, lingkungan sebagai pelengkap. Dalam paradigma ini, alam hanya dipandang sejauh ia bermanfaat bagi manusia.
Padahal, kerusakan lingkungan bukan hanya pelanggaran terhadap hak manusia atas hidup sehat, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap hak-hak ekologis itu sendiri. Artinya, tidak cukup kita memperjuangkan hak atas lingkungan (rights to environment); kita juga harus mulai mengakui dan memperjuangkan hak lingkungan itu sendiri (environment’s rights).
Kita hidup di era Antroposen, di mana krisis iklim, kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, adalah konsekuensi dari sistem sosial-ekonomi yang menempatkan alam sebagai objek eksploitasi. Di sinilah hukum memiliki dua sisi: bisa menjadi alat pelanggeng eksploitasi, tetapi juga bisa menjadi pengungkit perubahan. Maka, Parigi Moutong membutuhkan hukum lingkungan yang tidak hanya melindungi manusia dari dampak ekologis, tetapi juga mengakui lingkungan sebagai entitas yang memiliki hak hidup.
Bukan Lagi Soal Manusia Saja
Etika konservasi yang berakar pada kepentingan manusia semata terbukti tidak cukup ampuh menahan laju kerusakan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memperluas prinsip moral yang selama ini hanya berlaku antarsesama manusia, menjadi prinsip yang juga melibatkan makhluk dan elemen non-manusia.
Prinsip “perlakukanlah yang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan” tidak boleh lagi eksklusif untuk manusia. Ia harus berlaku untuk semua bentuk kehidupan: pohon, sungai, tanah, bahkan udara. Jika nilai-nilai seperti ini menjadi bagian dari budaya lokal dan tata kelola daerah, maka Parigi Moutong dapat tampil sebagai pelopor keadaban ekologis di Sulawesi Tengah.
Membangun Kesadaran Ekologis Baru
Solusi atas krisis lingkungan bukan hanya terletak pada regulasi dan teknologi. Kita memerlukan reformasi kesadaran. Kesadaran bahwa hubungan manusia dan alam bukan hubungan kuasa, melainkan hubungan spiritual, etis, dan estetis. Kita perlu menggali kembali kearifan lokal, narasi keagamaan, dan nilai-nilai kosmologis yang selama ini tercerai-berai—untuk disatukan menjadi kekuatan perubahan.
Ini adalah jalan ketiga: jalan yang tidak semata legalistik atau teknokratis, tetapi spiritual dan kultural. Jalan yang mengajak kita memperlakukan alam bukan sebagai objek, melainkan sebagai subjek yang layak dihormati dan dilindungi.
Jika langkah ini dimulai dari sekarang—melalui kebijakan, pendidikan, tradisi, hingga gerakan masyarakat sipil—maka Parigi Moutong tak hanya akan tumbuh sebagai daerah yang berkembang, tetapi juga sebagai wilayah yang beradab secara ekologis.
Oleh: Dedi Askary
Mantan Deputy Direktur Walhi Sulteng, Ketua Dewan Daerah Walhi Sulteng, Anggota Dewan Nasional Walhi