LOCUSNEWS, PARIMO – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Rumah Hukum Tadulako (RHT) mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk memberikan atensi serius terhadap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dugaan penyalahgunaan dana earmarking oleh pemerintah daerah Parigi Moutong (Parimo).
Pendiri LBH RTH Hartono Taharudin mengatakan bahwa dana earmarking yang seharusnya digunakan sesuai peruntukannya justru tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya. Hal ini mengemuka dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas pengelolaan keuangan daerah tahun anggaran 2024.
“Kami menilai ada indikasi pelanggaran hukum dalam pengelolaan dana earmarking tersebut. Oleh karena itu, kami mendesak Kejati Sulteng segera menindaklanjuti temuan BPK ini,” tegas Hartono, Rabu (31/7/2025).
Ia menyebutkan, jumlah dana yang diduga tidak digunakan sesuai peruntukannya mencapai Rp11.89 miliar. Dana tersebut merupakan bagian dari alokasi anggaran yang telah ditentukan penggunaannya secara khusus, namun dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan.
LBH RHT menilai, pembiaran atas temuan tersebut akan mencederai akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, berpotensi merugikan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat dari dana tersebut.
“Kejaksaan harus segera mengambil langkah hukum yang diperlukan, minimal melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak terkait untuk dimintai klarifikasi,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemda Parimo diduga menggunakan dana earmarking miliaran rupiah untuk membiayai belanja daerah yang bukan peruntukannya.
Dugaan ini mengemuka berdasarkan hasil audit BPK RI perwakilan Sulteng atas penggunaan anggaran dalam Laporan Hasil Pemeriksaan LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2024.
Diketahui dana earmarking merupakan alokasi anggaran yang telah ditentukan penggunaannya, seperti untuk bidang kesehatan, pendidikan, atau penanganan stunting, yang wajib direalisasikan sebagaimana mestinya.
Dalam dokumen resmi LHP BPK yang diterima redaksi ini, disebutkan bahwa sebagian dana earmarking yang semestinya dialokasikan untuk kegiatan tertentu, jusru digunakan untuk kegiatan lain yang diduga tidak mendesak
Dalam laporan LHP atas LKPD Kabupaten Parimo tahun 2023 nomor 08.XXXX tanggal 24 Mei 2024, BPK telah mengungkapkan permasalahan penggunaan dana earmarking tidak sesuai peruntukannya sebesar Rp41.037.653.549,00.
Permasalahan tersebut mengakibatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun berikutnya terbebani kewajiban untuk mendanai dana earmarking.
BPK kemudian merekomendasi kepada Bupati Parimo agar memerintahkan BUD dan kuasa BUD dalam pengelolaan kas daerah memedomani ketentuan berlaku terkait penggunaan dana earmarking.
Atas rekomendasi tersebut, Kabupaten Parimo telah menindaklanjutinya dengan surat instruksi Bupati Parimo nomor 900XXXX-Inspektorat tanggal 14 Juni 2024 dan nomor 900XXXX-Inspektorat, tanggal 20 Juni 2024 perihal tindak lanjut hasil pemeriksaan yang ditujukan kepada BUD dan kuasa BUD.
Namun, dalam catatan BPK masih ditemukan masalah terkait dengan penggunaan dana earmarking berdasarkan data dari bidang perbendaharaan BPKAD, diketahui bahwa per 31 Desember 2024 masih terdapat sisa dana earmarking sebesar RP31.830.211.682,00.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa saldo di kas daerah per 31 Desember 2024 sebesar Rp19.939.535.554.61 yang merupakan SiLPA di kas daerah tahun 2024.
“Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat dana earmarking per 31 Desember 2024 RP11.890.676.127,39 yang telah digunakan sebelumnya untuk belanja yang tidak sesuai dengan peruntukannya,” bunyi kutipan dalam temuan BPK tersebut.
Hasil wawancara dengan kepala Kuasa BUD menjelaskan bahwa penggunaan dana earmarking untuk membiayai belanja daerah pada akhir tahun, karena belum tersedia dana lain, selain dana earmarking.
Hal tersebut dikarenakan Pemkab Parimo masih menunggu penyaluran tarnsfer antar daerah dari provinsi sebesar Rp16.511.462.025,00. dan Treasury Deposit Faciluty (TDF) sebesar Rp2.130.305.000,00.
“Kondisi tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang nomor 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah dan pemerinrah daerah dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainya,” demikian kutipan dalam temuan BPK.