Menyongsong Malam Lailatul Qadar 

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang - Banten)

LOCUSNEWS – Dalam beberapa hari ke depan, kita ummat Islam akan memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadan. Pada rentang waktu itulah kita dianjurkan untuk lebih sungguh-sungguh beribadah supaya dipertemukan dengan satu malam yang disebut Lailatul Qadar. Yakni satu malam yang keutamaannya lebih baik daripada 1000 bulan, atau 83 tahun.

Sangat wajar apabila kita ingin berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabul khairat) untuk menyongsong Lailatul Qadar. Alasannya sederhana bahwa jatah umur dan kesempatan hidup kita di dunia belum tentu sampai 83 tahun. Sementara dalam Surat al-Qadar dinyatakan, bahwa Lailatul Qadri khairun min alfi syahr yang artinya Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan. Dengan pertimbangan itulah ummat Islam di mana tempatnya sangat menantikan Lailatul Qadar.

Malam yang disebut Lailatul Qadar bukanlah malam perayaan yang untuk dirayakan. Kalau ummat Islam mau merayakan satu malam, maka bukankah sudah ada malam bersejarah yang lebih pasti?!, Misalnya “Malam Isra’-Mi’raj” atau “Malam Nuzulul Qur’an” yang sudah dikalenderkan.

Malam Lailatul Qadar juga bukan menjadi malam penentuan, sekalipun dari segi namanya menggunakan lafal “al-qadar”. Penentuan nasib manusia, rejekinya, umurnya, dan hal-hal lainnya sudah ada waktu khusus yang disebut “Nisfu Sya’ban”; di mana kita biasa bermunajat kepada Allah agar diberikan yang terbaik pada malam tersebut.

Dalil Lailatul Qadar

Semangat Ummat Islam menyambut Lailatul Qadar semata-mata karena kemuliaan malam tersebut yang secara runtut dijelaskan dalam Surat al-Qadar ayat 1 – 5. Firman Allah Swt: yang artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada Lailatul qadar. Dan tahukah kamu apa Lailatul Qadar? Malam kemuliaan itu ;lebih baik dari 1000 bulan. Pada malam itu turun malaikat dan Jibril dengan ijin tuhan mereka untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar.

Di dalam Al-Qur’an, keterangan kitab suci bagi umat Islam ini diturunkan di waktu malam tidak hanya disebutkan di dalam surat al-Qadar saja. Akan tetapi juga terdapat di dalam Surat ad-Dukhan ayat 3 dengan kalimat “lailatin mubarakatin” (malam yang penuh berkah).

Firman Allah Swt yang artinya: Sesungguhnya Aku turunkan Al-Qur’an pada malam yang penuh berkah. Sesungguhnya kami adalah pemberi peringatan.

Sama-sama menjelaskan peristiwa turunnya Al-Qur’an, tetapi dalam satu ayat disebut Lailatin Mubarakatin sementara dalam satu Surat disebut Lailatul Qadar. Namun umat Islam lebih condong kepada penyebutan Lailatul Qadar sebab ia bukanlah pengkalenderan malam turunnya Al-Quran.

Selain itu juga ada hal dalam surat al-Qadar, yaitu ketika terjadi pengulangan kata dalam bentuk pertanyaan; “Tahukah kamu Lailatul Qadar? Pertama, Lailatul Qadar keutamaannya melebihi 1000 malam. Kedua, pada Lailatul Qadar para malaikat yang masing-masing memiliki tugas khusus yang berhubungan dengan urusan manusia, termasuk malaikat Jibril, turun semua ke bumi. Mereka membawa kedamaian dan keselamatan serta memohonkan ampunan untuk ummat Islam, sampai terbit fajar.

Gambaran Surat al-Qadar mengenai keutamaan Lailatul Qadar inilah yang membangkitkan semangat ummat Islam untuk bertafakkur, beramal, dan memperbanyak ibadah di 10 malam terakhir bulan Ramadan yang tak dapat diprediksi dan ditentukan. Benar, bahwa Lailatul Qadar terselubung penuh misteri! Adapun prediksi dan penentuan Lailatul Qadar yang dikemukakan para ulama hanya bersifat takwili atau apologi.

Misalnya ada yang membuat patokan Lailatul Qadar terjadi setiap 27 Ramadan. Hal ini karena dalam perhitungan jumlah kata pada Surat al-Qadar terdapat 30 kata dan 114 huruf: menyerupai jumlah juz Al-Qur’an dan pembagian surat Al-Qur’an. Kemudian, Lailatul Qadar diprediksi jatuh setiap 27 Ramadan dikarenakan lafal “HIYA” (Hatta Math’alil fajr) –yakni dhomir yang menunjuk langsung “Lailatul Qadar”– adanya pada urutan ke-27 dari total 30 kata dalam Surat al-Qadar.

Sekalipun demikian tidak ada anjuran bahwa kita cukup beribadah di malam tertentu seperti malam 27 Ramadan saja. Melainkan di 10 malam terakhir bulan Ramadan, kita dianjurkan untuk lebih giat beribadah kepada Allah Swt guna menyambut Lailatul Qadar.

Sepuluh Malam Terakhir Ramadan​​​​​​​

Kebiasaan ummat Islam di dunia untuk menghidupkan 10 malam terakhir di bulan Ramadan adalah dengan cara beri’tikaf. Ibadah ini merupakan ajaran yang dipraktikkan secara langsung oleh Rasulullah Saw. Dari Siti Aisyah diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melakukan I’tikaf pada 10 terakhir Ramadan semenjak beliau menetap di kota Madinah hingga beliau wafat.

Beri’tikaf merupakan usaha untuk mendekatkan diri (muraqabah) kepada Allah dengan penuh ikhlas. Pada momentum inilah kita menyerahkan diri kepada Sang Khaliq. Kita berupaya untuk taat beribadah kepada Allah Swt sesuai petunjuk-Nya dan tak ingin berpaling dari-Nya. Seolah-olah kita berdiri di depan pintu rahmat-Nya menunggu datangnya pengampunan dari Allah Swt.

Menurut Syekh Mahmud Syaltut dalam Kitab Min Taujihat al-Islam, ada 3 (tiga) fungsi peribadatan di dalam memakmurkan 10 malam terakhir Ramadan. Pertama, wujud syukur kita kepada Allah Swt yang telah menurunkan Al-Qur’an di bulan Ramadan sebagai petunjuk (Huda) dan penerang (bayyinat) bagi umat manusia. Kedua, menambatkan jiwa kepada hal yang dapat mengokohkannya dan mampu menguatkan rohaninya. Ketiga, menaikkan jiwa ke maqam tertinggi selayaknya golongan malail a’la.

Oleh sebab itu jika seandainya kita ada halangan melakukan peribadatan di mesjid, kita dapat memakmurkan 10 malam terakhir Ramadan di rumah masing-masing. Perbanyaklah membaca Al-Qur’an di rumah; selain sebagai ungkapan syukur diturunkannya kitab suci di bulan Ramadan juga dalam rangka menyinari rumah kita dengan Al-Qur’an. Perbanyaklah berzikir dan bersalawat supaya terikat jiwa-jiwa kita dan mereka untuk lebih cinta kepada Allah dan nabi Muhammad Saw.

Ajaklah anggota keluarga kita untuk berdoa dan bermunajat, semoga Allah mengangkat derajat kita dan dijadikan kita semuanya termasuk golongan hamba-hamba Allah yang dikasihi-Nya. Amiin.

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang – Banten)

Bagikan Berita :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *