LOCUSNEWS, PARIMO – Meski sudah masuk dalam blok wilayah pertambangan rakyat (WPR) Desa Kayuboko, Kecamatan Parigi Barat, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng), terus “digempur” secara ilegal.
Puluhan alat berat jenis excavator diduga masih terus mengekpolitasi perut bumi secara liar dan serampangan yang “disponsori” para cukong baik lokal hingga warga negara asing (WNA).
Kondisi tersebut membuat resah warga setempat. Pasalnya, aktivitas pertambangan emas tanpa izin (Peti) justru semakin tidak terkendali.
“Sangat meresahkan pertambangan ilegal di Kayuboko dan semakin terbuka. Yang jadi cukong pun datang dari luar daerah sampai WNA,” terang sumber secara tertutup,” di Parigi, Senin (23/6/2025).
Sumber mempertanyakan komitmen Pemerintah Daerah (Pemda) Parigi Moutong untuk menutup sementara aktivitas tambang emas ilegal sambil menunggu terbitnya izin pertambangan rakyat (IPR).
“Kami bingung katanya pertambangan emas ilegal di desa kami ini (Kayuboko) akan ditutup sampai ada izin. Tapi, yang terjadi saat ini justru semakin parah,” ucapnya.
Dengan tidak terkendalinya aktivitas pertambangan emas secara ilegal, sumber menyarankan agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulteng segara terbitkan IPR.
Langkah itu, kata Sumber, untuk meminimalisir risiko yang kemungkinan dihadapi masyarakat akibat dampak pertambangan ilegal. Ia tegaskan warga pun mudah meminta pertanggungjawaban.
“Kan kalau tambang ilegal caranya sudah teratur. Kalau terjadi bencana mereka bertanggung jawab. Kalau ilegal siapa yang kami mau tuntut jika terjadi bencana ? tidak mungkin kepala desa,” tegas sumber.
Sumber juga menyoroti keterlibatan sejumlah oknum aparat yang diduga terlibat dan terlihat berada di lokasi pertambangan emas ilegal Kayuboko. Bahkan, ikut mengatur distribusi solar.
“Ini juga pak kenapa ada aparat yang berani terlibat di atas (lokasi tambang) sampai urus solar. Warga di sini semua tahu dan jadi rahasia umum,” tutup sumber.
Diberitakan sebelumnya, dua desa di hilir sungai Air Panas-Olaya, yakin Desa Pombalowo dan Olaya mengeluhkan minimnya pasokan air disebabkan aktivitas tambang emas ilegal di Kayuboko.
Akibatnya, sekitar 80 hektare sawah tidak maksimal berproduksi hingga tidak bisa diolah terdiri dari 50 hektar di Desa Pombalowo dan 30 hektare Desa Olaya.
“Kalau kami di sini (Desa Pombalowo), masalah saluran irigasi. Debit air berkurang, karena ada endapan lumpur dari tambang emas ilegal di atas, Desa Kayuboko,” terang Kepala Desa Pombalowo, Anwar K dihubungi, Jum’at (13/6/2025).
“Meski memiliki irigasi desa, kebutuhan air untuk 50 hektare sawah ini tidak mencukupi. Karena sejak dulu hanya mengandalkan irigasi yang bersumber dari Sungai Air Panas-Olaya,” ungkap Anwar.
Hal serupa dikeluhkan Kepala Desa Olaya, Idham. Idham menyebut kurang leih 30 hektar areal persawahan di desa-nya tak lagi bisa diolah dengan baik.
Sejak masifnya Peti di Desa Kayuboko, lanjut Idham, Petani hanya berharap dari musim hujan untuk menggarap lahan persawahan mereka.
“Air aliran irigasi dari Sungai Air Panas-Olaya sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan mereka (petani),” ucapnya.