LOCUSNEWS, POSO – Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) mengadakan serial kajian Islam dalam rangka memperingati 1 dan 10 Muharran, bertempat, di Masjid Darussalam Bega, Kecamatan Poso Pesisir, Selasa malam.
Kajian yang dilaksanakan dengan model halaqah itu mendatangkan pembicara utama, KH Maruf Khazim dari Jawa Timur dan Kiai Makruf Khazim merupakan (Ketua Aswaja Center Jawa Timur sekaligus ketua Majlis Fatwa Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur.
Dalam kajian aswaja itu ada dua pertanyaan dari jamaah yang langsung menohok Terkait Taklid “Cium Tangan Orang Tua” dan Tabarruk
Pertanyaan pertama soal taklid ini tergambar dari kebiasaan mencium tangan orang tua yang sebagian kelompok menggap tidak ada dalilnya.
Berikut jawaban Kiai Ma’ruf : Bahwa merekalah yang taklid kepada ustaznya, sebab masalah khilafiyah ini ada dalil hadisnya, malah kita yang dituduh taklid tanpa dalil.
Baca dulu hadis mencium tangan yang dilakukan oleh para Sahabat terhadap tangan Nabi shalallahu alaihi wa sallam:
وَمِنْ حَدِيث أُسَامَة بْن شَرِيك قَالَ ” قُمْنَا إِلَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَده ” وَسَنَده قَوِيّ
Hadis Usamah bin Syuraik, ia berkata: “Kami berdiri ke arah Nabi, lalu kami cium tangan beliau” Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya kuat” (Fath Al-Bari)
Lanjut dia, sebenarnya ada hadis lain yang dinilai Hasan oleh Syekh Albani tapi tidak saya keluarkan kecuali jika ada yang mempermasalahkan.
Untuk hadis mencium tangan orang tua disampaikan oleh Syekh Syamsul Haq ketika menjelaskan hadis berikut:
وَكَانَ إِذَا دَخَلَ عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ وَأَجْلَسَتْهُ فِى مَجْلِسِهَا. (رواه أبو داود)
“Jika Rasulullah datang ke tempat Fatimah, maka ia berdiri, memegang tangan Nabi dan menciumnya dan didudukkan di tempatnya” (HR Abu Dawud)
أَيْ عُضْوًا مِنْ أَعْضَائِهِ الشَّرِيفَةِ وَالظَّاهِر أَنَّهُ الْيَدُ الْمُنِيفَةُ (عون المعبود ج 11 / ص 253)
“Yakni mencium anggota tubuh Nabi yang mulia, secara Zahir adalah tangannya (Aun al-Ma’bud, 11/253)
Soal Tabarruk, sepertinya Salafi hanya mengakui kebolehan Tabarruk khusus kepada Nabi. Selain Nabi tidak boleh. Saya sampaikan hadis berikut bahwa Nabi pun berkenan untuk Tabarruk dengan para Sahabat:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ الْوُضُوءُ مِنْ جَرٍّ جَدِيدٍ مُخَمَّرٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ مِنَ الْمَطَاهِرِ؟ فَقَالَ لا بَلْ مِنَ الْمَطَاهِرِ إِنَّ دِينَ اللهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ قَالَ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ يَبْعَثُ إِلَى الْمَطَاهِرِ فَيُؤْتَى بِالْمَاءِ فَيَشْرَبُهُ يَرْجُو بَرَكَةَ أَيْدِي الْمُسْلِمِينَ
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa ia bertanya kepada Nabi: Ya Rasulallah, apakah berwudlu dari wadah baru yang tertutup ataukah dari tempat-tempat berwudlu’ yang lebih engkau senangi? Rasulullah menjawab: Tidak. Tapi dari tempat-tempat berwudlu’. Agama Allah adalah yang condong dan mudah. Ibnu Umar berkata: Kemudian Rasulullah menyuruh seseorang ke tempat-tempat berwudlu’ dan beliau diberi air wudlu’, kemudian beliau meminumnya. Beliau mengharap berkah dari tangan-tangan umat Islam” (HR Thabrani dalam al-Kabir No 235, al-Ausath No 806, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 2669 dan Abu Nuaim 8/203)
al-Hafidz al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam al-Ausath, para perawinya dinilai terpercaya. Dan Abdul Aziz bin Abi Rawad adalah terpercaya, dinisbatkan kepada golongan Murjiah” (Majma’ az-Zawaid 1/133)
Bukti lain bahwa Tabarruk dengan selain Nabi diperbolehkan adalah tabarruk yang dilakukan Tabiin kepada sesama Tabiin. Yaitu Tabiin bernama Muhammad putra dari Sahabat Thalhah (salah satu Sahabat yang dikabarkan masuk surga). Berikut biografi beliau:
ﺫﻛﺮ ﻣﻨﺎﻗﺐ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻃﻠﺤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ اﻟﻠﻪ اﻟﺴﺠﺎﺩ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ «ﻛﺎﻥ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻃﻠﺤﺔ ﻣﻦ اﻟﺰﻫﺎﺩ اﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ ﻓﻲ اﻟﻌﺒﺎﺩﺓ، ﻭﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺘﺒﺮﻛﻮﻥ ﺑﻪ ﻭﺑﺪﻋﺎﺋﻪ»
Biografi Muhammad bin Thalhah bin Ubaidillah As-Sajjad (banyak melakukan sujud). Beliau termasuk ulama Zuhud yang bersungguh sungguh dalam ibadah. Para Sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bertabarruk dengan beliau dan doanya. (Al Hakim, Al-Mustadrak.
Ajwir